Thursday, 13 November 2008

Jadi.. Tadi Malam Itu Siapa???

Di antara bunyi jangkrik dan burung hantu, Dewo mengerutkan kening, berusaha menajamkan pendengarannya. Untuk sejenak pemuda itu menengok kanan-kiri berusaha untuk memastikan arah suara yang baru saja didengarnya.

Setelah beberapa saat berlalu, dan tidak terdengar apapun selain suara satwa malam, Dewo-pun menghela nafas sambil menggelengkan kepala. Ia berbisik pada dirinya sendiri, “Gak mungkinlah Riska keluyuran malam-malam begini!”

Dewo-pun kembali berkonsentrasi pada kegiatan yang sebelumnya sedang ia kerjakan di tengah semak, di balik batu besar ini.. melegakan perutnya setelah makan malam tadi.

Baru saja Dewo bangun dari berjongkok, ia langsung beradu tatap dengan seraut wajah di hadapannya, Riska.

“WAA!! RISKA!! Ngapain sih lo?! Mau bikin gue pingsan?!” Dewo mengomel, antara terkejut dan sedikit jengah karena ia belum sepenuhnya merapikan celana jeansnya. Bergegas ia menarik retsleting dan beranjak keluar dari semak.

Riska hanya terdiam memperhatikan Dewo yang panik dan salah tingkah.

“Ris! Lo ngapain di sini? Mana Echa? Orang kemping, apalagi cewek, gak boleh keluyuran sendirian! Buang air juga harus ada temennya! Lo kan tau itu, Ris!”

Riska menjawab tenang, “Kan elo juga lagi di sini..”

Dewo mengerutkan kening, “Lo gak sakit kan, Ris? Masa’ lo buang air, gue yang nemenin?”

Lagi-lagi Riska menjawab tenang dan datar, “Yang lain lagi pules banget. Kasihan kalo dibangunin.”

Dewo menghela nafas. Penjelasan Riska ada benarnya juga. Dewo-pun mengalah, toh ia bukan cowok iseng, “Ya udah sana! Gue tungguin di sini. Kalo perlu gue, panggil aja!”

Riska mengangguk pelan, “Thanks.”

Dewo memperhatikan Riska yang melangkah memasuki semak. Ada sesuatu yang aneh, tapi Dewo tak mengerti apa tepatnya. Dewo merasa Riska terlihat sangat tenang, jauh berbeda dari keseharian gadis itu yang selalu lincah dan ceriwis, terlebih lagi, Riska tidak terlihat seperti orang yang menahan sakit perut karena ingin buang air.

“Ris.. Riska! Udah belum? Udah ¼ jam.. Lo gak kenapa-kenapa kan?”

“Sebentar.. udah mau selesai..” Kembali suara Riska terdengar tenang menjawab.

Tak sampai 3 detik kemudian, Dewo kembali tersentak mendengar suara Riska, tepat di hadapannya, “Udah, Wo. Ayo balik!”

Dewo memicingkan matanya menatap semak-semak di belakang Riska. Tadi ia bisa melihat dengan jelas Riska melangkah memasuki semak, tapi kenapa ia sama sekali tidak melihat Riska melangkah keluar dari semak dan berjalan ke arahnya? Begitu bertambah gelapnyakah malam, hingga suasana tak lagi tertangkap jelas oleh matanya?

Dewo menggelengkan kepalanya dengan cepat, berusaha mengusir berbagai kelebat teori aneh yang melintas di kepalanya. Ia menatap Riska selintas lalu memberi isyarat pada Riska untuk mulai berjalan menuju area perkemahan.

Tiba di perkemahan, Riska langsung duduk di dekat api unggun.

Dewo sedikit heran melihat Riska, “Gak balik ke tenda? Masih jauh ke pagi, Ris! Mendingan tidur lagi!”

Riska menggeleng, “Pengen duduk di sini.”

Dewo tak sampai hati membiarkan Riska duduk sendirian di luar tenda pada tengah malam seperti ini. Mungkin saja apa pikiran yang mengganggu gadis itu, “Kenapa lo, Ris? Cerita, Ris.. Siapa tau gue bisa bantu.”

Riska tersenyum, “Besok lo balik kan?”

Dewo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Lo nanya seperti gue doang yang balik! Lo kan juga besok balik, Ris!”

Riska tersenyum, “Setiap kali di sini rame, gue seneng.. Biarpun cuma 1-2 hari, tapi, gue gak ngerasa kesepian.”

Dewo menatap Riska bingung, “Setiap?? Emangnya udah berapa kali lo ke sini, Ris? Perasaan gue, sebelum berangkat kemarin, lo tanya-tanya ke gue arah jalan ke sini! Gue kira ini pertama kalinya lo ke sini.”

Riska hanya terdiam menatap api unggun sambil tersenyum tipis. Wajahnya tampak menerawang.

Dewo ikut menatap api unggun untuk sejenak, lalu menoleh pada Riska, “Ris, lo bener gak sakit kan? Gak demam? Gak kedinginan?”

Riska menggeleng sambil terus menatap api unggun. Kemudian gadis itu mulai bertutur, “Banyak sebenarnya orang yang sering datang ke sini. Tapi, gak semuanya punya niat baik. Kalo lo dan teman-teman lo, sejak pertama kali ke sini selalu rajin ngumpulin sampah, nanam bibit pohon, bikin bazaar amal untuk penduduk sekitar.. tempat ini jadi rapi.. gue senang.”

Dewo menghela nafas, “Ah, lo kebanyakan dengerin omongan anak-anak, Ris! Ini kan pertama kalinya lo ke sini, baru kali ini lo lihat kegiatan kita-kita di sini.. Dulu-dulu suka ada juga yang bandel-bandel kok, tapi mereka langsung kena penalti dari Echa dan Lukman!”

Riska tersenyum, “Kelakuan anak-anak yang dihukum sama Echa dan Lukman itu gak seberapa. Gue bahkan gak terlalu tertarik untuk menghukum mereka. Nebang ranting pohon untuk kayu bakar, ngebendung sungai selama perkemahan biar bisa makan ikan.. itu gak terlalu bikin masalah. Kelompok lain banyak yang bikin masalah lebih besar, tapi bukan Echa dan Lukman yang menghukum mereka!”

Lagi-lagi Dewo menatap Riska dengan kening berkerut. Omongan gadis ini benar-benar aneh, walaupun ia tidak terlihat sakit. Entah siapa yang dimaksud oleh Riska sebagai orang-orang yang membuat masalah besar di tempat ini, dan siapa yang menghukum mereka, Dewo benar-benar tidak mengerti. Dari mana Riska tau tentang semua ini, Dewo lebih tidak mengerti. Pemuda itu tak tau harus menjawab apa pada Riska, atas kata-kata gadis itu tadi, maka ia hanya terdiam saja menatap api unggun.

Dalam keheningan itu, tiba-tiba saja ada yang menepuk bahunya dari belakang. Saat Dewo menoleh untuk melihat, wajahnya langsung berubah pucat pasi, menyadari siapa yang berdiri menatapnya, Riska dan Echa!

Dewo langsung menatap ke arah dimana Riska tadi duduk saat berbincang dengannya sambil menatap api unggun, tidak ada siapa-siapa di situ. Dewo langsung kembali menatap Riska dan Echa dengan mata terbelalak dan hati berdebar kencang yang membuat pemuda itu tak dapat berkata-kata untuk beberapa saat.

Riska dan Echa menatap Dewo keheranan. Riska meringis tipis sambil memegangi perutnya.

“Lo kenapa, Wo? Ngapain lo malam-malam begini duduk di depan api unggun sendirian?” Echa bertanya dengan kening berkerut.

Tergagap Dewo menjawab, “Lo berdua ngapain keluyuran di luar tenda?”

Echa menunjuk Riska yang masih meringis, “Nih, si Riska sakit perut! Untung juga lo belum tidur. Temenin gue nungguin Riska ya, Wo!”

Dewo mengangguk sedikit kaku. Kemudian, pemuda itu berjalan mengikuti langkah Echa dan Riska ke arah semak-semak tak jauh dari situ.

Keesokan paginya, Dewo duduk bersama Echa, Riska dan Lukman saat menyantap sarapan. Echa dan Riska terkekeh setelah Dewo selesa bercerita.

“Jadi, lo semalam diajak kenalan sama cewek asli sini yang wajahnya persis sama Riska?” Echa bertanya di antara tawanya.

Dewo sedikit bergidik mengingat alur kejadian yang dialaminya semalam. Dengan segan ia mengangguk-angguk.

“Trus, gue.. eh cewek itu, cerita apa aja sama lo, Wo? Dia tau rahasia gue gak?” Riska bertanya sambil cengar-cengir.

Dewo segera menelan makanan yang sedang berada di mulutnya, “Nggak, Ris.. Nggak! Dia cuma bilang kalo kelompok kita ini gak bikin masalah di sini dan malah bikin area sekitar sini lebih rapi.”

Echa dan Riska mengangguk-angguk, “Oooo... gitu. Kalo begitu, mungkin dia pengen kenalan aja kali, Wo.”

Dewo mengangkat bahu, “Iya, kali..”

Riska bertanya lagi, untuk mengganggu Dewo, “Trus, kalo lain kali dia ngajak lo ngobrol lagi gimana, Wo? Lo kan hobi banget ke sini.”

Dewo menghela nafas panjang, “Kalo di antara lo nemuin gue pingsan di tengah semak, bawa gue balik ke tenda aja deh!”

Lukman terkekeh melihat ekspresi pasrah Dewo, “Dewo.. Dewo! Ada-ada aja lo! Bertahun-tahun naik gunung, kemping.. baru sekarang diajak kenalan sama warga lokal.”

Dewo hanya bisa melengos salah tingkah sambil berjalan ke arah tendanya untuk membereskan barang-barangnya dan bersiap-siap untuk pulang siang hari itu.

Siangnya, setelah seluruh anggota perkemahan dan barang-barang mereka sudah berada di bis, Dewo menebarkan pandangannya ke sekeliling area perkemahan yang sudah kembali bersih dan rapi seperti pada saat mereka tiba di tempat itu tiga hari yang lalu.

Dalam keheningan suasana, Dewo merasakan angin semilir melintas menerpanya dan ia seolah merasakan ada seseorang berdiri di dekatnya, diikuti dengan bulu kuduk Dewo yang sedikit meremang.

Sesaat kemudian, terdengar kembali suara tenang dan datar yang ia dengar semalam, suara gadis yang wajahnya persis dengan Riska, “Terima kasih, Dewo, kamu sudah mau menemani aku tadi malam. Jangan takut kalau lain kali kamu ke sini, kamu ketemu aku lagi. Aku hanya ingin ngobrol dan aku senang ngobrol dengan kamu.”

Dewo tak tau mau menjawab apa, ia hanya dapat memberanikan diri untuk menoleh ke sampingnya, tapi tak ada siapa-siapa di situ. Kemudian ia membalikkan badan dan mulai berjalan ke arah bis.

Sambil berjalan, Dewo menyempatkan menoleh sejenak ke belakang, ke arah pepohonan dan semak-semak yang rimbun berada. Bulu kuduk Dewo kembali meremang saat ia menangkap sesosok gadis seperti bayangan hampir transparan berdiri di antara semak-semak sambil tersenyum menatapnya.

Jantung Dewo seolah berhenti berdetak untuk sedetik, namun ia segera tersadar dan balas tersenyum sambil melambai singkat pada sesosok bayangan transparan itu. Dalam hatinya ia berbisik pada dirinya sendiri, “Dia hanya ingin berkomunikasi dan ini rumahnya. Gue harus sopan.”

Setelah itu, rasa dingin dan merinding di tengkuk Dewo-pun perlahan menghilang dan Dewo-pun masuk ke dalam bis dengan tenang. Hanya tinggal satu pertanyaan tersisa di dalam hatinya yang entah kapan bisa ia dapatkan jawabannya, “Jadi, siapa sebenarnya gadis yang mirip dengan Riska tadi malam itu?”...

-08 Nov 2008-

No comments:

Post a Comment

Google Search

Google